banner 728x250

Perludem Sebut Mahar Politik Seperti Kentut !!

  • Bagikan
banner 468x60

Jakarta – Isu mahar politik ramai menjadi perhatian publik setelah Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur sekaligus kader Partai Gerindra, La Nyalla Mataliti mengungkapkan bahwa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta uang sebesar Rp40 miliar. Uang itu menjadi syarat agar La Nyalla bisa direkomendasikan partai untuk menjadi bakal calon gubernur Jawa Timur di Pilkada 2018.

Bahkan bakal calon Kepala Daerah lainnya yang senasib sama dengan La Nyalla Mattaliti ikutan menyanyi terang-terangan terkait fenomena mahar politik ini. Wilayah tersebut adalah Cirebon dan Kalimantan Tengah.

banner 336x280

Menyikapi persoalan tersebut, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai jika sanksi mahar politik yang diatur dalam Undang-Undnag Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pilkada diterapkan, maka akan mengakibatkan efek jera. Sayangnya sanksi belum pernah diterapkan secara maksimal.

“Karena mahar politik itu seperti kentut, baunya dirasakan, tetapi tidak tahu dari mana. Itu seperti kasus suap, pelaku dan penerima sama-sama tidak mau lapor karena saling menguntungkan,” ujar Fadli, hari ini.

Lebih lanjut, Fadli mengatakan, sanksi mahar politik ditujukan kepada partai politik selaku penerima dan bakal calon selaku pemberi. Sanksi terhadap parpol adalah dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. “Sementara untuk calon atau pasangan calon, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pencalonannya dibatalkan,” terang dia.

Tak hanya itu, kata dia, anggota parpol atau anggota gabungan parpol yang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan pilkada, dapat dipidana 72 bulan dan denda Rp 300 juta. Pihaknya mendorong Bawaslu memperkuat koordinasi dengan penegak hukum lain di Sentra Gakkumdu, yakni kepolisian dan kejaksaan karena kedua lembaga ini mempunyai sumber daya yang kuat untuk melakukan penyelidikan dan upaya hukum lain dalam proses pemberantasan mahar politik.

Dalam UU Pilkada, ada beberapa Pasal yang mengatur mahar politik, yakni Pasal 47 dan Pasal 187.

Pasal 47
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
5) Dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dibatalkan.
(6) Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Pasal 187B
Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan
perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pun langsung merespon dengan mengusut kasus dugaan mahar politik tersebut. Dalam hal ini, Bawaslumembuka peluang bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menyikapi maraknya praktik mahar politik menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018.

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, kerjasama itu bertujuan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang mau mengungkap praktik pelanggaran hukum dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah.

“Yang kita sedang jajaki adalah kerjasama dengan LPSK. Apakah mungkin seorang saksi yang memberikan keterangan itu dapat diberikan perlindungan oleh LPSK. Itu sedang kami jajaki untuk memberikan perlindungan kepada dia agar lebih bebas dalam memberikan kesaksian,” kata dia.

Fritz menjelaskan, nantinya LPSK akan melindungi orang yang mau mengungkap praktik mahar politik di kontes Pilkada 2018. Ia berharap, orang bisa bebas memberikan kesaksian dan bukti secara rinci mengenai hal tersebut.

Fritz mengatakan praktik mahar politik melanggar Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Wacana kerjasama dengan LPSK muncul setelah adanya laporan kepada Bawaslu mengenai praktik mahar politik di beberapa daerah. Sampai saat ini, kata Fritz, ada empat laporan mahar politik yaitu di Jawa Timur, Cirebon Jawa Barat, Batubara Sumatera Utara dan Palangkaraya Kalimantan Tengah.

“Mahar politik itu patut dicegah dan patut ditindak. Siapa pun pelakunya, siapa pun tokoh di baliknya, siapa pun parpol yang ada di balik mahar politik,” kata Fritz.

Lain hal disampaikan Indonesian Parliamentary Center (IPC) yang menilai mahar politik terlihat dalam pola rekrutmen kader yang dilakukan partai politik. Menurutnya, kader yang tak mempunyai popularitas akan membayar mahar politik lebih besar.

“Pertama mahar politik kaitannya dengan pola rekrutmen dan polarisasi. Karena tidak punya kader yang layak untuk dicalonkan, maka ini menjadi peluang untuk beberapa orang. Kalau dia nggak punya uang, dia harus punya popularitas,” ujar Ahmad.

“Kalau orang yang punya kapabilitas dan popularitas itu mahar politiknya kecil. Tapi tidak dengan kader yang popularitasnya kurang itu mahar politiknya tinggi. Artinya parpol belum punya sistem kaderisasi yang mampu memunculkan kan tokohnya,” sambungnya.

Selain itu mahar politik menurutnya menunjukan strategi partai untuk menangani pendanaan partai. Terlebih dalam pemilu serentak biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

“Kedua ini menunjukan bagian dari strategi partai dalam pendanaan pemilu 2019 karena kita tahu memerlukan dana yang besar. Apalagi ini pemilu serentak. Karena habis-habisan, kebutuhan dananya juga habis-habisan, sementara ini tidak dibiayai oleh negara,” kata Ahmad.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan bahwa kesaksian dari aktor yang mengalami langsung permintaan mahar politik dapat diproses secara hukum. Bahkan, pembuktian kasus akan lebih mudah.

Veri menjelaskan, ada dua mekanisme yang dapat ditempuh oleh penegak hukum, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yakni mekanisme administrasi dengan sanksi administrasi di Pasal 47 Undang-Undang (UU) No.10/2016 dan mekanisme pidana. Yang pertama kali dapat dilakukan adalah mekanisme pidana.

“Mekanisme pemidanaan butuh pembuktian materil, apakah benar terjadi mahar politik? Apakah benar memberi imbalan? Sudah diterima (imbalan) belum? Kalau di media kan menerimanya sudah. Nah, kalau aktornya yang ngomong, harusnya pembuktiannya lebih mudah,” jelas Veri.

Setelah pembuktian, penting agar pengadilan dapat memberikan sanksi administrasi, yakni pembatalan pasangan calon atau tak diperbolehkannya partai yang bersangkutan mencalonkan kandidat di pilkada selanjutnya.

“Di Pasal 47 itu, sepanjang imbalan yang dikeluarkan untuk bisa mengeluarkan rekomendasi pencalonan, itu sudah kena,” ujar Veri.

Yang perlu menjadi catatan, kata Veri, pemberian imbalan dalam proses pencalonan berbeda dengan biaya saksi atau biaya operasional pemenangan lainnya. Biaya saksi dibicarakan setelah ada penetapan pasangan calon, sementara mahar politik dibicarakan sebelum partai politik mendaftarkan calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

banner 336x280
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close