banner 728x250

Era Baru Abad Kedua NU

  • Bagikan
banner 468x60

Oleh: Abdul Ghopur

Dalam rangka menyongsong satu (1) abad Nahdlatul Ulama (NU) yang jatuh tepat pada 16 Rajab 1444 H (berdasar kalender Hijriah) atau paruh pertama bulan Pebruari 2023 (7-2-2023 M), sebagai salah seorang yang pernah “nyantri” di pondok pesantren berpahamkan Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah, tentunya saya dan seperti kebanyakan lainnya, merasa berbahagia dengan sampainya usia seabad NU itu. Rencananya acara peringatan seabad NU itu akan dihelat di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai penghargaan kepada warga Jatim di mana organisasi atau jam’iyyah NU didirikan (tepatnya di Surabaya, Jatim).

banner 336x280

Mungkin sudah banyak santri dan kader NU yang menulis tema-tema tentang “seabad NU” atau perjalanan dan capai-capaian jam’iyyah terbesar di Indonesia ini di pelbagai lini media massa Bahkan jauh sebelum ini, ada banyak tokoh dan kader NU yang telah mengadakan diskusi rutin bulanan tentang menuju seabad NU, road show ke kantong-kantong NU di seluruh Indonesia. Salah-satu hasil road show tersebut adalah tercetaknya buku yang berjudul: “Peta Jalan NU Abad Kedua” yang ditulis oleh (alm.) KH. Ahmad Bagdja dkk. Saya peribadi juga merasa terpanggil untuk ikut “menyebarluaskan” hal senada. Bahkan pada saat menjelang Muktamar NU ke 34 di Lampung (23-24 Desember 2021), saya juga menulis artikel-artikel yang terkait langsung tema Muktamar NU tersebut di media-media massa, dua diantaranya saya beri judul: “Arah Kepemimpinan NU di Masa Depan” dan “Tantangan Nahkoda Baru Nahdlatul Ulama.” Artikel-artikel yang telah dimuat oleh pelbagai media massa tersebut tak lupa saya bagikan (share) ke beberapa teman dan tokoh-tokoh nasional tak terkecuali Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (biasa disapa Gus Yahya).

Hari lahir atau Milad seabad NU ini mengusung tema: “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru.” Menurut Gus Yahya, pilihan tema tersebut didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah saw. (hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud) mengenai adanya pembaharu di setiap 100 tahun: “Allah swt. setiap 100 tahun membangkitkan di kalangan umat ini pembaharu.” Artinya, adalah mentriger kebangkitan baru di tengah umat sekaligus menjadi momentum era kebangkitan baru bagi jam’iyyah dan jama’ah NU. Di saat bersamaan, telah diresmikan pula mars atau lagu tema seabad NU yang berjudul: “Merawat Jagad Membangun Peradaban,” yang diciptakan oleh seorang kyai seniman-budayawan, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang aransemennya dikerjakan di Praha, Ceko.

Syahdan, begitu gegap-gempita dan semaraknya rangkaian acara demi acara menjelang perhelatan akbar seabad NU itu, yang akan dihadiri jutaan anggota dan kadernya dari seluruh Indonesia, tentu banyak rasa dan harapan yang tertumpah di situ. Saya yakin, semangat perayaan seabad NU ini bukan sebatas simbolik dan keceriaan belaka, namun menyimpan makna tersirat di dalamnya. Sebagai sebuah organisasi terbesar dan salah-satu tertua di Indonesia (100 tahun usianya), tentu sudah banyak bakti dan bukti serta peran kesejarahan yang telah NU torehkan di atas kanvas perjalanan republik ini bahkan dunia.

Torehan Tinta Emas Sejarah NU
Dalam sejarah pergerakan kebangsaan, NU telah banyak mengukir bukti dan bakti terhadap keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik sebelum masa kemerdekaan, Proklamasi, dan era sesudah kemerdekaan. Sebut saja diantara keterlibatan dan sumbangsih besar NU yaitu pertama, mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing. Kedua, pemberian nama “Indonesia” untuk negara yang akan didirikan pada Muktamar NU ke 11 tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketiga, mempelopori berdirinya Majlis Islami A’la Indonesia (MIAI) tahun 1937. Keempat, pencoretan 7 kata (Piagam Jakarta) di dalam perdebatan Panitia BUPKI dan PPKI. Kelima, memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945 (Perang 10 Nopember 1945). Keenam, penyematan gelar waliyul amri ad-dharuri bissyaukah kepada Presiden Soekarno sebagai pemegang kekuasaan yang darurat dengan sebab mempunyai kekuatan, pemerintah darurat yang memegang kekuasaan secara sah, dalam upaya mendelegitimasi kepemimpinan Kartosoewirjo (yang ingin mendirikan DI-TII). Ketujuh, memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara. Kedelapan, satu-satunya Ormas Islam yang menerima asas tunggal Pancasila tahun 1984 (Khittah NU 1984, baca: kembali ke gerakan sosial keumatan), serta kesembilan, memperlopori gerakan Islam kultural (pribumisasi Islam) dan penguatan civil society di Indonesia sepanjang dekade 90-an. dan masih banyak lagi untuk disebutkan.

Basis Pendukung NU
Sebagaimana pernah diulas dalam tulisan saya sebelumnya, jumlah warga NU atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 108 juta orang, dari beragam profesi dan latar belakang. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik yang tinggal di perkotaan atau pun perdesaan. Mereka memiliki keterkaitan (kohesifitas) yang tinggi dan melekat (koheren-inheren), karena secara sosio-kultur dan sosio-ekonomi memiliki masalah yang sama. Dus, mereka juga memiliki ikatan “ideologis”/ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah-Annahdliyyah yang mendarah-daging. Mereka memiliki ikatan (tradisi keagamaan) cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU juga Indonesia.

Perkembangan antropologi basis NU
Basis pendukung NU saat ini mengalami pergeseran dan dinamika yang luar biasa, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi dan informasi-teknologi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri, perkantoran dan pendidikan modern. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di perdesaan, maka saat ini pada sektor perburuhan di perkotaan misalnya, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Saya teringat percakapan antara M. Nurcholis Madjid (Ca’ Nur) dan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada dekade 1970-an. Ca’ Nur berkata kalau Gus Dur (NU) akan kewalahan dengan membanjirnya doktor-doktor dari NU 30 tahun ke depan. Terbukti pasca dekade 90-an dan awal-awal reformasi, lahir dan bermunculan doktor-doktor multi disipliner lulusan dalam dan luar negeri dari NU. Itu belum tercatat mereka yang bergerak di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penelitian dan pembangunan sosial. Di samping pula tumbuhnya pengusaha-pengusaha (entrepreneur) muda NU yang berafiliasi dengan partai politik maupun BUMN dan swasta. Singkatnya, basis NU baik struktural atau pun kultural sudah melampaui cita-cita para pendirinya (muassis NU) sendiri.

Tantangan ke dalam (problem distribusi kader NU)
Pertanyaannya sekarang, potensi yang begitu dahsyat yang dimiliki NU, mau didistribusikan kemana? Ini sebuah tantangan tersendiri. Jangan sampai dengan potensi yang begitu luar biasa dan basis intelektual yang bejibun, kader-kader NU milenial yang mulai menjamur di mana-mana tidak terdistribusikan dengan baik, jelas dan tepat serta bermanfaat bagi NU sendiri dan bangsa. Alih-alih menjadi kekuatan NU malah menjadi masalah besar yang tak terselesaikan. Karena melihat potensi dan tendensi sirkus sentripetal dan sentrifugal serta fenomena Bottleneck di tubuh NU karena berjejal-sesak di dalamnya.

Dengan sederet masalah dan potensi yang dimiliki NU, saya kira perlu langkah dan upaya yang serius, strategis sekaligus sistematik (tak lupa, out of the box). Saya kira, jam’iyyah dan jama’ah NU sudah memiliki jawaban dan solusi kongkrit menghadapi dinamika kader dan tantangan zaman (sudah terbukti dan teruji). NU sudah memiliki arah (guidance) dan gerakan serta kepemimpinan yang solid di tubuh jam’iyyah NU sendiri. Tinggal persoalannya bagaimana merumuskan kembali metode dan role model yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika zaman (now) yang unpredictable.

Terobosan di abad kedua
Menjejaki abad kedua perjalan jam’iyyah NU ini, langkah-langkah apa yang harus diambil dan dijalankan oleh nakhoda baru NU baik Rois Aam (Pemimpin Tertinggi) dan Ketua Umum Tanfidziyah (Pemimpin Eksekutif/Pelaksana)? Saya sebut dua istilah kepemimpinan tersebut, karena selaiknya keduanya harus seiring-sejalan. Langkah yang dimaksud adalah langkah yang mengarah pada perbaikan dan penguatan nilai-nilai mutu kepemimpinan, keorganisasian dan keumatan NU yang muaranya pada perbaikan dan penguatan nilai-nilai kebangsaan di bidang sosial-keagamaan, hukum, budaya, politik dan ekonomi kerakyatan. Langkah-langkah yang dilakukan itu tentu bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan (NU) dan telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit NU selama ini, yang dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Dus, Semuanya mutlak bersumber dari manajemen kepemimpinan-keorganisasian keumatan dan kenegaraan yang bersih dari praktik KKN, adil, sejahtera dan merata. Langkah-langkah yang dikaitkan juga pada perbaikan, penguatan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme bangsa, baik jangka pendek, menengah dan panjang (long term goal).

Tujuan organisasi NU
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah melaksanakan langkah-langkah tersebut? Semua pertanyaan ini sesungguhnya merujuk pada tujuan organisasi NU, yaitu menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah-Annahdliyah (moderasi Islam) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu juga merujuk pada usaha organisasi NU, yakni pertama, di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. Kedua, di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebangsaan, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Ketiga, di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan. Keempat, di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Kelima, membangun lebih banyak lagi pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan seperti yang sudah dijalankan selama ini, serta mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi Nahdliyin-Nahdliyat serta masyarakat luas.

Tentunya, menjadi harapan besar bagi warga NU khususnya dan seluruh masyarakat-warga bangsa pada umumnya, di usianya yang seabad ini NU mampu menghujam lebih dalam meluaskan ide dan gagasan serta terobosan besar nilai-nilai kebangsaan yang bertumpu pada kultur dan naturnya Indonesia yang bersumber dari ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah-Annahdliyah. Menjadi jangkar sekaligus perekat bagsa. Menghasilkan kader-keader dan pemimpin NU yang men-nasional bahkan mendunia (seperti Gus Dur misalnya), yang mengayomi umat dan visioner. Pemimpin milik umat dan punya keberpihakkan yang jelas pada nilai-nilai kerkayatan dan intelektual (terutama pada kaum intelektual muda NU). Sebab, ada indikasi bahwa selama lebih kurang satu dekade ini semangat (ghirah) intelektualisme (diskusi, kajian, menulis, membaca) di kalangan orang muda kurang diminati lagi. Padahal, sejatinya NU berdiri diawali dari basis-basis pemikiran atau intelektual (baca: Taswirul Afkar). Serta sinyalemen bahwa bangsa Indonesia dewasa ini makin tercerabut dari akar tradisinya. Tercerabut dari jati dirinya sebagai bangsa yang bermusyawarah dan bergotong-royong. Dus, langkah-langkah ini tidak bisa diemban dan dilaksanakan oleh model kepemimpinan yang biasa-biasa saja, harus yang luar biasa. Sebab, tantangan kebangsaan dan NU ke depan juga luar biasa![

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Abdul Mun’im DZ. 2011.Piagam Perjuangan Kebangsaan. Jakarta. Setjen PBNU-NU Online. Hlm. 50-53 & 72-74.
A. Khoirul Anam. 2014. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren 1-4. Jakarta. Mata Bangsa & PBNU.
Ahkamul Fuqaha. 2011. Ahkamul Fuqaha, solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M. Surabaya. LTN PBNU & Khalista.
Dan, dari berbagai serpihan sumber lainnya.

banner 336x280
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close